Bukittinggi merupakan salah satu daerah di Sumatera Barat yang wajib dikunjungi. Kota kelahiran proklamator RI, Mohammad Hatta (Bung Hatta) ini memiliki tempat yang cukup banyak memiliki sejarah. Ikon utama yang sudah pasti menarik perhatian adalah Jam Gadang.

Saat berkunjung ke Sumatera Barat pertama kali di tahun 2015, aku berkesempatan mampir ke Bukittinggi melihat Jam Gadang serta berbelanja di Pasar Atas Bukittingi yang tak jauh lokasinya dari Jam Gadang.

Tak hanya itu, Bukittinggi juga memiliki Pasar Los Lambuang yang menjadi surga nasi kapau. Juga itik lado mudo di Ngarai Sianok. Dari booklet Atraksi Wisata Lebaran Sumatera Barat yang aku dapatkan, ada wisata dengan bendi (delman / kereta kuda) untuk mengelilingi kota.

Sejak di Palembang, sebelum berangkat mudik ke Padang, aku sama suami sudah merencanakan akan menginap di Bukittinggi. Tapi seperti biasa, kami menunda mem-fix-kan rencana karena khawatir ada perubahan kondisi yang terjadi saat di Padang. Apalagi, tujuan utama mudik adalah menghadiri pernikahan adik.

Ternyata rencana memang gagal karena perut si suami bermasalah setelah makan Sate Danguang-Danguang di Payakumbuh. Jadwal ke Bukittinggi pun meleset karena baru bisa berangkat siang hari. Kami juga punya rencana ke Istana Pagaruyung di Batusangkar. Harus ke dua daerah serta tak ada rencana menginap karena ada yang kerja keesokan harinya, membuat kami baru tiba di Bukittinggi sekitar pukul 5 sore.

Jam Gadang

Menara jam berwarna putih dengan pucuk layaknya atap khas rumah minang (atap bagonjong) menjadi salah satu pusat perhatian di Bukittinggi. Di sekitar menara jam ini terdapat taman yang cukup luas. Taman di sekitar Jam Gadang menjadi arena berkumpulnya masyarakat, ada yang berjualan makanan, mainan, bahkan jasa melukis wajah. Dari taman pula kita bisa melihat keindahan kota Bukittingi.

New photo by Faridilla Ainun / Google Photos

Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926. Monumen setinggi 26 meter ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada sekretaris kota, HR Rook Maker. Jika diperhatikan lebih detil, ada satu hal yang menarik dari jam ini. Penulisan angka di dalam jam ditulis dalam angka romawi, namun angka 4 yang seharusnya ditulis ‘IV’ justru ditulis dengan ‘IIII’.

Banyak yang mengibaratkan Jam Gadang ini layaknya Big Ben di Inggris. Jam Gadang dan Big Ben memiliki kesamaan yaitu penggunaan mesin manual yang dibuat di pabrik Vortmann Recklinghausen, Jerman.

Tak jauh dari taman, terdapat Pasar Atas (Ateh) yang menjual aneka kain sulaman dan bordiran khas tanah minang. Sayangnya, Pasar Atas mengalami kebakaran sekitar Oktober 2017 lalu dan kini sedang dibangun kembali. Namun, pedagang masih bisa berjualan di kios-kios sementara yang dibangun.

New photo by Faridilla Ainun / Google Photos

Lokasi Jam Gadang juga dianggap menjadi pusat dari kota Bukittinggi atau titik nol kilometer Bukittinggi. Saat datang kemarin, sedang ada truk-truk besar yang membawa barang untuk perbaikan taman Jam Gadang. Semoga kalau ada kesempatan berkunjung kembali taman ini menjadi lebih indah.

New photo by Faridilla Ainun / Google Photos

***

Setelah menikmati sore di Jam Gadang, kami ingin mencoba nasi kapau di Pasar Los Lambuang. Pasar Los Lambuang tak hanya menjual nasi kapau, tapi ragam makanan khas minang lain seperti aiaka, cindua, dan lainnya.

Los Lambuang berada juga tak jauh dari Jam Gadang. Untuk menuju ke Los Lambung, kita dapat menyusuri lorong dari Pasar Atas. Karena kondisi Pasar Atas sedang diperbaiki, kita harus masuk dari area pasar yang samping (seberang Masjid Raya Bukittinggi). Lorong panjang akan kita lalui. Sayangnya, saat itu mulai banyak toko yang tutup atau membereskan dagangannya. Aku pun tak jadi lirik-lirik kain border khas Minang.

Ada satu tangga yang menurun membawa kita ke area luas dengan kios-kios bercorak biru dan putih. Baskom besar yang biasa menjadi wadah lauk terlihat tertumpuk. Ya, saat kami datang ke Los Lambuang, para pedagang mulai memberesi dagangannya. Kami pun gagal menikmati nasi kapau.

New photo by Faridilla Ainun / Google Photos

Los (Lorong) Lambuang (Lambung) memiliki makna lorong yang dapat mengisi lambung. Mungkin memang tujuannya adalah setelah kelelahan berbelanja di Pasar Atas atau Pasar Bawah (pasar yang menjual kebutuhan harian), kita mampir untuk mengisi lambung kembali agar mendapat energi.

Ngarai Sianok

Adik ipar pun mengajak kami ke Ngarai Sianok. Katanya, ada tempat enak untuk nongkrong, Rumah Pohon Abdul. Tapi harus segera karena tempat tersebut tutup pukul 20.00.

Ngarai Sianok berada di Kabupaten Agam. Menuju ke tempat tersebut diperlukan waktu sekitar 30 menit dari kota Bukittinggi. Wajar saja dibilang tutup pukul 8 malam, untuk menuju Rumah Pohon Abdul, jalan cukup kecil (muat 2 mobil) tapi berkelok-kelok dan penerangan pun minim.

Kuliner khas yang cukup terkenal di Ngarai Sianok adalah Itiak Lado Mudo. Beruntungnya menu ini juga ditawarkan di Restoran Rumah Pohon Abdul ini. Sebenarnya, restoran ini menawarkan panorama yang indah. Sayangnya, sudah terlalu gelap ketika kami datang.

New photo by Faridilla Ainun / Google Photos
New photo by Faridilla Ainun / Google Photos

***

Menurutku, cuma ke Bukittinggi di sore hari tanpa menginap itu jelas kurang sekali. Hanya sejenak di Bukittinggi jelas rugi, karena kota ini memiliki banyak pesona. Cobalah kalau berangkat dari pagi hari, kita bisa makan nasi kapau di Pasar Los Lambuang, lalu berbelanja di Pasar Atas untuk membeli oleh-oleh, mencoba wisata kota dengan bendi, mencari makan siang di Ngarai Sianok, lalu berkeliling kembali di kota melihat Lubang Jepang, Benteng Fort de Kock, atau Rumah Kelahiran Bung Hatta. Jika ingin bereksplorasi ke Kabupaten Agam (yang menjadi kabupaten dari daerah Ngarai Sianok) pun kita bisa melakukannya di sore hari. Ada Puncak Lawang yang menjadi lokasi untuk menikmati Danau Maninjau.

baca juga : Puncak Lawang, Danau Maninjau, dan Kelok 44

Tentu saja, Bukittinggi masuk daftar wajib untuk dikunjungi ulang kalau aku mudik ke Sumatera Barat. Tapi, sebisa mungkin hindari menghampiri Bukittinggi di akhir pekan atau libur Lebaran. Karena macetnya ga nahan. Tahun lalu kami memutuskan batal ke Bukittinggi karena kapok terkena macet yang hampir bikin semalaman di jalan.

Related Posts

3 thoughts on “Sejenak di Bukittinggi, Rugi!

  1. Berkali-kali ke Sumatra Barat, cuma sampe Padang aja. Gak sempat ke Bukittinggi huhuhu. Padahal tempat kecenya di sana, ya! Dan Jam Gadang lagi direnovasi kalo aku liat IG Storynya mas Bolang beberapa hari lalu.

    Ah semoga bisa Sumatra Tour nanti 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *