Sebagai seorang yang kerap berkutat di bidang Human Resources, kembali ke dunia pembelajaran industrial engineering cukup membuat kaget. Walaupun memiliki background yang sama, walaupun sebenarnya optimisasi selalu ada di keputusan kehidupan selama ini, namun hal itu kerap tidak disadari. Ya, sebenarnya ada perhitungan matematis dalam setiap keputusan kita selama ini. Sebetulnya ada proses optimisasi dalam pemikiran untuk menuju keputusan yang kita ambil.

Sebenarnya, ini adalah sebuah catatan pribadi untuk memahami konseptual optimisasi yang banyak diperhitungkan dengan matematis. Mungkin secara matematis masih banyak PR bagi saya memahami dan melakukan iterasi, namun saya merasa perlu memahami secara konseptual dengan menyederhanakan ke proses bisnis kehidupan yang saya lakukan.
Saya di sini mau mencoba melakukan pemahaman optimisasi versi saya sendiri dan mungkin di akhir akan membandingkannya dengan pengelolaan sumber daya manusia di mana hal tersebut menjadi bidang pekerjaan 14 tahun terakhir.
Mencoba Memahami Optimisasi dari Urusan Perut
Sebagai contoh, kita mau makan siang di luar. Kita akan dihadapkan ke beberapa pilihan. Tentu kita punya fungsi tujuan, ada beberapa alternatif fungsi tujuan misalnya : mau makan di mana aja asal kenyang, mau makan di restoran baru supaya bisa mencoba tempat baru, mau makan di tempat yang murah-murah aja, mau makan di restoran daerah X soalnya abis itu sekalian mau ke Y, dan sebagainya.
Kita biasanya harus memilih satu fungsi tujuan saja supaya fokus.
Dari satu fungsi tujuan yang sudah kita pilih, kita lihat variabel-variabel lain. Misalnya fungsi tujuannya : mau makan di tempat yang murah-murah aja, lalu apa indikator yang bisa mencapai fungsi tujuan itu : berapa harga yang mau dibayar untuk makanan dan minuman sehingga setelah makan bisa ngomong “murah nih”. Eh lalu kita punya pembatas nih, budget yang dipunya untuk makan berempat cuma 300.000. Nah, optimisasi adalah proses gimana kita milih restoran yang kira-kira sesuai dengan batasan (budget) kita, tapi di akhir kita juga bisa bilang kalo fungsi tujuan kita makan di tempat murah juga tercapai.
Dalam proses optimisasi itu sendiri, pasti ada banyak pilihan alternatif solusi. Misalnya : kita punya beberapa alternatif restoran yang bisa didatangi, ini bisa dianggap sebagai solusi.

Lalu hal itu dikerucutkan lagi, masuk ga ya ke pembatas kita, misal restoran dengan 1 menu makanan aja rata-rata 100.000 sementara kita mau makan berempat, ya itu pasti bakal out of budget, pasti restoran itu bisa kita coret dari daftar list yang kita mau, artinya restoran itu bukan solusi layak karena dia di luar dari pembatas yang kita tentuin.
Selanjutnya, misal nih kita udah dapat solusi yang layak, kita coba tuh datang ke restoran A, makan, dan ngerasa fungsi tujuan kita : mau makan di tempat yang murah-murah aja tercapai. Wah, solusi optimum nih kayaknya. Di lain waktu, kita punya fungsi tujuan yang sama, nyoba ke restoran B dan C. Lalu ngerasa, ternyata di restoran A lebih murah, berarti restoran A bisa dianggap solusi optimum lokal karena dibanding resto-resto yang udah kita coba, itu paling murah.
Tapi nih, dalam konsep optimisasi ada juga konsep optimum global yang artinya, dia adalah solusi paling optimum di antara seluruh solusi lain. Ibaratnya, se-kota itu, restoran A ini emang paling murah.
Mencoba Memahami Optimisasi dari Management HR
Terus apa hubungannya sama pengelolaan sumber daya manusia. Saya melihat ini sebagai pendekatan dari organisasi dan personal.
Dari Pengelolaan Organisasi dan Leadership
Organisasi pasti punya fungsi tujuan, yang paling gampang deh pengen KPI tercapai. Organisasi punya sumber daya kan, ya termasuk manusianya juga. Nah, ketika manusia (karyawan) itu kurang memiliki kompetensi untuk mencapai KPI tersebut, bisa saja karyawan tersebut sebenarnya bukan solusi yang layak untuk fungsi tujuan di organisasi tersebut.
Namun, ketika kita melihat karyawan memiliki kompetensi dan menganggap dia layak, maka sebagai leader (pimpinan organisasi) kita perlu mengoptimalkan potensi karyawan tersebut sehingga benar-benar menjadi solusi optimum bagi organisasi kita.

Lalu, terkait lokal dan globalnya seperti apa? Tentu setiap karyawan memiliki performance masing-masing. Ada yang bagus, ada yang bagus banget. Yang bagus-bagus, bisa jadi baru cukup sebagai ‘solusi optimum lokal’ saja, namun yang bagus banget akan menjadi ‘solusi optimum global’.
Inilah alasan kenapa dalam proses performance management, dibutuhkan adanya obyektivitas dari penilai (biasanya leader, rekan kerja, atau customer), karena kita melihat karyawan lain menjadi solusi tidak dalam mencapai fungsi tujuan organisasi (atau fungsi tujuan penilai).
Ini juga alasan kenapa di akhir, ada proses rewarding yang berbeda bagi yang menjadi solusi layak optimum global (the best performance, bisa jadi dikasih grade A), solusi layak optimum lokal (mungkin belum best tapi udah ngasih better dibanding yang cuma layak, bisa dikasih grade B), dan solusi layak aja (effort seadanya banget, dikasih grade C). Kalo ga layak, seharusnya sih udah di luar grade itu ya karena biasanya penilaian mencapai tujuan atau mencapai target 100% dikasih nilai C (catatan : ini berlaku di perusahaan tempat saya kerja, sesuai yang saya pahami).
Dari Pandangan Pribadi / Personal
Sementara itu, dari sisi personal, kita juga tentu punya fungsi tujuan dalam diri. Sebagai contoh : Oh, saya ingin mendapatkan pembelajaran dari proses A. Ternyata dalam proses berjalannya waktu kita di organisasi atau environment tertentu, kita tidak merasa adanya potensi untuk mencapai fungsi tujuan tersebut. Kita bisa saja melihat organisasi atau environment tersebut bukan lagi sebagai sebuah solusi layak untuk kita, atau sebaliknya kita melihat diri kira bukanlah solusi yang layak bagi organisasi tersebut. Ini bisa jadi karena kita under competence atau over competence.
Kalo orang under competence kadang ga mau ngaku sih, kalo over competence kadang jadi berasa jumawa. Tapi hal ini yang saya sadari menjadi alternatif alasan kenapa orang memilih keluar dari organisasi, karena sejatinya fungsi tujuannya sudah tidak sesuai, karena sejatinya satu sama lain bukanlah solusi yang layak.

Sekilas Insight
Lalu pelajaran apa yang bisa saya dapatkan terkait proses optimisasi ini? Bahwa sejatinya, sebagai seorang manusia yang bagian dari organisasi, kita perlu memahami apa fungsi tujuan jadi organisasi itu.
Kita bisa membandingkan dengan sumber daya yang kita miliki (attitude, competence, behavior) apakah layak kita di organisasi tersebut. Kalau kita merasa sejalan dengan fungsi tujuan tapi sumber daya kita kurang, ya tingkatkan kemampuan kita supaya kita menjadi solusi layak di organisasi tersebut. Jika ternyata kita melihat ada rekan kerja yang juga menjadi solusi yang layak, ya berusahalah untuk beyond expectation sehingga kita bisa menjadi orang yang memiliki value sebagai solusi optimum.
Sebaliknya, ketika kita tidak merasa sejalan dengan fungsi tujuan organisasi, kita sudah merasa bukanlah solusi yang layak (bisa jadi karena memang ga mampu atau bisa jadi kolamnya yang ga muat sama ‘badan besar’ kita), ya sudah, jangan memaksakan diri. Karena mau memaksakan diri bagaimanapun, kita ga akan menjadi solusi optimum di fungsi tujuan tersebut.
Jadi, carilah fungsi tujuanmu, jadikan dirimu sebagai solusi layak. Kalau fungsi tujuan tersebut membuatmu bukan sebagai solusi layak, kamu bisa cari fungsi tujuan lain sehingga kamu adalah solusi layak. Kalau kamu sudah menjadi solusi layak, jangan tanggung-tanggung. Upayakan jadi optimum, jangan nanggung yang lokal, kalau bisa jadi yang solusi optimum global.